Inilah salah satu kisah sintas paling mencekam sepanjang masa.
OLEH DAVID ROBERTS
FOTO OLEH FRANK HURLEY
FOTO OLEH FRANK HURLEY
Mawson mendengar dengking anjing yang lirih di belakangnya. Pikirnya, itu pasti salah seekor anjing husky di antara enam anjing penghela kereta salju di belakang.
Akan tetapi, Mertz, yang sepagian ini berski mendahului untuk memeriksa situasi di depan, berhenti dan berbalik. Mawson melihat raut wajahnya yang cemas. Dia berputar dan melihat ke belakang. Dataran salju dan es yang datar membentang sampai jauh, hanya ditandai oleh jejak yang ditinggalkan kereta salju Mawson. Di manakah kereta yang satu lagi?
Mawson berlari mengikuti jejak itu ke belakang. Tiba-tiba dia sampai ke tepi lubang selebar 3,5 meter yang menganga di permukaan. Di seberang, tampak dua jejak kereta menuju lubang. Di sisi sini, hanya satu jejak yang meninggalkan lubang.
Hari itu 14 Desember 1912. Douglas Mawson yang sudah menjadi penjelajah kawakan pada usia tiga puluh tahun, adalah pemimpin Australasian Antarctic Expedition (AAE).
Inilah tim 31 orang yang melakukan penjelajahan paling ambisius saat itu di benua selatan. Mawson bertekad menekuni sebuah wilayah sepanjang 3.000 kilometer di Antartika yang belum terjelajahi, untuk memperoleh hasil penelitian ilmiah terbaik yang pernah diperoleh dalam perjalanan kutub.
Setelah membangun pondok di pesisir teluk yang mereka namai Teluk Commonwealth, anggota AAE melewatkan musim dingin di tempat yang di kemudian hari terbukti sebagai tempat paling berangin di bumi (setidaknya di level permukaan laut), dengan embusan angin hingga 320 km/jam.
Regu kereta salju Mawson yang berangkat pada November 1912 adalah salah satu dari delapan tim beranggota tiga orang yang menempuh perjalanan ke semua arah yang memungkinkan. Untuk Regu Timur Jauh-nya sendiri, dia memilih Xavier Mertz, juara ski Swiss yang berusia 29 tahun, dan Belgrave Ninnis, orang Inggris 25 tahun yang bersemangat dan menyenangkan.
Pada tanggal 14 Desember, setelah 35 hari perjalanan, trio itu telah mencapai titik hampir 480 kilometer dari pondok. Mereka telah menyeberangi dua gletser besar dan puluhan ceruk es tersembunyi—retakan dalam di es yang tersamarkan oleh jembatan salju tipis. Baru saja pada hari itu, lewat tengah hari, Mertz mengacungkan tongkat ski menandakan adanya retakan lagi.
Akan tetapi, Mertz, yang sepagian ini berski mendahului untuk memeriksa situasi di depan, berhenti dan berbalik. Mawson melihat raut wajahnya yang cemas. Dia berputar dan melihat ke belakang. Dataran salju dan es yang datar membentang sampai jauh, hanya ditandai oleh jejak yang ditinggalkan kereta salju Mawson. Di manakah kereta yang satu lagi?
Mawson berlari mengikuti jejak itu ke belakang. Tiba-tiba dia sampai ke tepi lubang selebar 3,5 meter yang menganga di permukaan. Di seberang, tampak dua jejak kereta menuju lubang. Di sisi sini, hanya satu jejak yang meninggalkan lubang.
Hari itu 14 Desember 1912. Douglas Mawson yang sudah menjadi penjelajah kawakan pada usia tiga puluh tahun, adalah pemimpin Australasian Antarctic Expedition (AAE).
Inilah tim 31 orang yang melakukan penjelajahan paling ambisius saat itu di benua selatan. Mawson bertekad menekuni sebuah wilayah sepanjang 3.000 kilometer di Antartika yang belum terjelajahi, untuk memperoleh hasil penelitian ilmiah terbaik yang pernah diperoleh dalam perjalanan kutub.
Setelah membangun pondok di pesisir teluk yang mereka namai Teluk Commonwealth, anggota AAE melewatkan musim dingin di tempat yang di kemudian hari terbukti sebagai tempat paling berangin di bumi (setidaknya di level permukaan laut), dengan embusan angin hingga 320 km/jam.
Regu kereta salju Mawson yang berangkat pada November 1912 adalah salah satu dari delapan tim beranggota tiga orang yang menempuh perjalanan ke semua arah yang memungkinkan. Untuk Regu Timur Jauh-nya sendiri, dia memilih Xavier Mertz, juara ski Swiss yang berusia 29 tahun, dan Belgrave Ninnis, orang Inggris 25 tahun yang bersemangat dan menyenangkan.
Pada tanggal 14 Desember, setelah 35 hari perjalanan, trio itu telah mencapai titik hampir 480 kilometer dari pondok. Mereka telah menyeberangi dua gletser besar dan puluhan ceruk es tersembunyi—retakan dalam di es yang tersamarkan oleh jembatan salju tipis. Baru saja pada hari itu, lewat tengah hari, Mertz mengacungkan tongkat ski menandakan adanya retakan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar